Tak terasa lama MWC NU Ajibarang telah memasuki tahun kedua masa kepemimpinan Rois Syuriah K. Zuhdi Azhari dan Tanfidziah Amrudin Ma'ruf.
Ada hal menarik dari kepengurusan yang baru kali ini. Pertama adalah adanya kesadaran dan upaya untuk merangkul semua komponen yang ada di lingkungan "kesepuhan " dan tokoh lama NU. Hal ini tercermin dengan masuknya tokoh lama seperti KH. Munawar Cholil, KH. Abdul Hamid Rusydi, Ahmad Sofyan, S.Pd dan beberapa tokoh lama lainnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya asumsi bahwa generasi muda NU sedikit banyak telah meninggalkan saran, petuah dari para tokoh lama. Ini setidaknya yang "dituduhkan" kepada kepengurusan sebelumnya. Sehingga Ketua Tanfidziah setelah terpilih langsung bergerilya untuk meminta "do'a restu " dari tokoh lama.
Hal menarik kedua adalah, dengan kehadiran tokoh lama banyak "perbincangan " yang muncul yang kemudian menjadi program adalah sebuah program nostalgia. Satu contoh adalah pengajian ahad wage. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, forum tersebut tidak lebih sesungguhnya adalah sebuah agenda masa lalu yang dihidupkan kembali. " Pemaksaan " program tersebut, jika jujur kita analisis adalah sebuah kepentingan sekelompok yang terhubung langsung dengan para pelaku di masa yang lalu.
Ketiga adalah adanya upaya yang digagas oleh Ketua Tanfidziah untuk melakukan reorganisasi terhadap pengurus sekolah. Dalam langkah ini, ketua tanfidziah kelihatan sekali ragu - ragu dan ada sedikit nervous jika tidak boleh dikatakan "takut" dengan mengistilahkan reorganisasi pengurus sekolah dengan istilah penyegaran. Dan kenyataan membuktikan bahwa langkah tersebut menuai banyak kendala. Pasca sukses "pengkaderan" pengurus SMK Ma'arif NU I Ajibarang, MWC menuai kendala saat "penyegaran" Pengurus SLTP Ma'arif Ajibarang. Langkah ini serta merta berhenti di tengah jalan. Jika tidak keliru, SMA Ma'arif dan Mts Ma'arif tidak dilakukan penyegaran kepengurusan sekolah
Ada hal menarik dari kepengurusan yang baru kali ini. Pertama adalah adanya kesadaran dan upaya untuk merangkul semua komponen yang ada di lingkungan "kesepuhan " dan tokoh lama NU. Hal ini tercermin dengan masuknya tokoh lama seperti KH. Munawar Cholil, KH. Abdul Hamid Rusydi, Ahmad Sofyan, S.Pd dan beberapa tokoh lama lainnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya asumsi bahwa generasi muda NU sedikit banyak telah meninggalkan saran, petuah dari para tokoh lama. Ini setidaknya yang "dituduhkan" kepada kepengurusan sebelumnya. Sehingga Ketua Tanfidziah setelah terpilih langsung bergerilya untuk meminta "do'a restu " dari tokoh lama.
Hal menarik kedua adalah, dengan kehadiran tokoh lama banyak "perbincangan " yang muncul yang kemudian menjadi program adalah sebuah program nostalgia. Satu contoh adalah pengajian ahad wage. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, forum tersebut tidak lebih sesungguhnya adalah sebuah agenda masa lalu yang dihidupkan kembali. " Pemaksaan " program tersebut, jika jujur kita analisis adalah sebuah kepentingan sekelompok yang terhubung langsung dengan para pelaku di masa yang lalu.
Ketiga adalah adanya upaya yang digagas oleh Ketua Tanfidziah untuk melakukan reorganisasi terhadap pengurus sekolah. Dalam langkah ini, ketua tanfidziah kelihatan sekali ragu - ragu dan ada sedikit nervous jika tidak boleh dikatakan "takut" dengan mengistilahkan reorganisasi pengurus sekolah dengan istilah penyegaran. Dan kenyataan membuktikan bahwa langkah tersebut menuai banyak kendala. Pasca sukses "pengkaderan" pengurus SMK Ma'arif NU I Ajibarang, MWC menuai kendala saat "penyegaran" Pengurus SLTP Ma'arif Ajibarang. Langkah ini serta merta berhenti di tengah jalan. Jika tidak keliru, SMA Ma'arif dan Mts Ma'arif tidak dilakukan penyegaran kepengurusan sekolah
..
BalasHapusdan ulasan anda di atas juga menunjukkan sisi yang tak kalah apriorinya, kalau tidak malah apatis. Sebagai suatu apologi, setidaknya Ketua Tanfidz sudah melakukan ikhtiar menarik di dalam dinamika Nahdlatul Ulama Ajibarang. Itulah organisasi kultural, merayaplah jangan berlari. Karena dengan perlahan segalanya lebih terawasi secara lebih jeli.
..
ingat NU bukan komoditas politik, apalagi media pengepul popularitas.