PADA SUATU HARI
Karya : ARIFIN C. NOOR
Para Tokoh:
Nenek
Kakek 
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri
SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:
1. POTRET KAKEK  DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK  DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK  DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK  TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC
Kakek  dan Nenek duduk berhadapan.
Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..
TIGA
Kakek   Sekarang kau nyanyi.
Nenek  (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek   Seperti dulu.
Nenek (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek   Nyanyi seperti dulu.
Nenek  (Malu)
Kakek   Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek  Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek  Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek  Saya tidak mau menyanyi.
Kakek   Kapanpun?
Nenek  Kapanpun.
Kakek   Juga untuk saya.
Nenek  Juga untuk kau.
Kakek   Sama sekali?
Nenek Sama sekali.
Kakek   Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau
        menyanyi.
Nenek  Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak         ada               gunanya. 
Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek   Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah saya. 
Tetapi kalau sejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek  Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek   Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek   Tentu, tentu.
Kakek   Kau mau menyanyi.
Nenek   Tentu, sayang, tentu.
Kakek   Kapan?
Nenek   Suatu ketika.
Kakek   Sebelum saya mati?
Nenek   Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek   Sekarang.
Nenek  Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa hari yang lalu?
Kakek   (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek   Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya sakit.
Kakek   Kau melebih-lebihkan.
Nenek   Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau tahu.
Kakek   Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui. Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek  Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek   Maaf, tidak lagi.
Nenek   Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek   Apa?
Nenek   Kau harus menyanyi.
Kakek   (menggelengkan kepalanya)
Nenek   Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek   Dan sorga saya…?
Nenek   Mungkin, tertutup.
Kakek   Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya batuk.
Nenek   Tidak. Satu lagu.
Kakek   Nanti batuk.
Nenek  Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek   Satu lagu?
Nenek  Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
(Kemudian Kakek  menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir Nenek bertepuk tangan dengan semangat.)
Nenek   Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek  Mana album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek   Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek   Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek   Habis pandangan kau nakal.
Kakek   Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek   Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek   Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.
EMPAT
Pesuruh  Ada tamu, nyonya besar.
Nenek   Siapa?
Pesuruh  Nyonya Wenas, nyonya.
Nenek  (Melirik pada Kakek ) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke depan.
Pesuruh exit.
Nenek   Kau surati dia?
Kakek   Tidak.
Nenek   Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek   Saya tidak tahu.
Nenek   Kau bohong (Exit) Demam saya mulai kambuh.
LIMA
Kakek   Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
\  Kemudian Kakek  mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek   Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih baik saya menyingkir ke ruang baca. (Exit)
ENAM
Nenek  Kami sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran kenapa nyonya tidak datang kemudian.
Janda   Kami sakit.
Nenek   Kami? Maksud nyonya….
Janda  Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga ikut sakit. Saya agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak parah sakitnya.
Nenek  Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini. Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)
TUJUH
Sambil mengamati ruangan tengah itu nyonya Wenas membenahi dirinya.
Janda   Terlaknat saya, kenapa saya jadi gemetar?
DELAPAN
Pesuruh muncul membawa minuman, ketika pesuruh itu akan pergi,
Janda   Nanti dulu.
Pesuruh  Ya, nyonya.
Janda   Siapa yang memilih minuman ini?
Pesuruh  Saya sendiri, nyonya, kenapa?
Janda   Ini memang kesukaan saya.
Pesuruh  Menyenangkan sekali. silahkan minum, nyonya.
Janda   (Minum) Segar bukan main. Bagaimana kau tahu saya suka minuman ini?
Pesuruh  Tuan besar sering menceritakan perihal nyonya kepada saya. Dan ketika saya tahu nyonya datang, segera saya buatkan minuman itu. Selamat minum nyonya.
Janda   Nanti dulu.
Pesuruh  Ya, nyonya?
Janda   Tuan besar masih suka…
Pesuruh  Menyirami kaktus?
Janda   Ya?
Pesuruh  Tidak, nonya, tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap pagi dan sore. Memang tengah malam seringkali diam-diam ia menyirami kaktus yang ditaruh di dalam kakus. Maaf nyonya, saya harus ke dalam.
SEMBILAN
Nenek   Selamat datan, nyonya.
Janda   Selamat atas….
Kakek   Terima kasih. Maaf , nyonya Tampubolon?
Nenek   Kau pelupa benar.
Kakek   Siapa bilang, Nyonya pasti nyonya Mangandaralam.
Nenek   Sayang, ini nyonya Wenas.
Kakek   Ya, saya maksud nyonya Wnas. Apa kabar suami nyonya?
Nenek   Maaf, Nyonya. Sayang, tuan Wenas telah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Kakek   Maafkan kau benar sayang. Daya ingat saya jelek sekali. maafkan nyonya.
Janda   Tidak apa.
Nenek   (Berseru) Joni.!
Pesuruh  Ya, nyonya.
Nenek   Bawa minuman ini ke dalam.
Pesuruh membawa minuman tadi ke dalam.
Kakek   Baik-baik nyonya?
Janda   Berkat doa tuan dan nyonya. Tuan sendiri?
Kakek   Berkat doa nyonya.
Nenek   Nyonya suka minum jeruk?
Janda   Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling uka.
Kakek   Saya sendiritidak begitu, tapi……..
Nenek   Kita berdua minum jeruk saja. Kita flue (Berseru) Joni!
Pesuruh  Ya, nyonya.
Nenek   Bikin es susu dan dua gelas jeruk panas.
Pesuruh  Dua es susu dan satu gelas jeruk panas, maksud nyonya?
Nenek   Dua es jeruk satu susu panas.
Kakek   Bagaimana anak-anak nyonya?
Nenek  Sayang, Nyonya dan tuan Wenas tidak diberkahi putera. Kenapa kau bertanya begitu?
Kakek   Maaf, saya lupa. Maksud saya apa tujuan nyonya datang kemari?
Nenek  Maafkan suami saya, Nyonya. Kadangkala dia amat kaar, tapi sebenarnya dia lelaki yang amat lembut.
Janda  Betul, nyonya. Onda adalah lelaki yang amat lembut, malah sangat amat lembut. Onda selalu cermat dalam memilih kata-kata dan juga saya kira ia tidak pernah memakai tanda seru selama hidupnya.
Kakek   Kita minum  apa? Nyonya suka….
Nenek  Onda, kita baru saja memesan minuman (menyeret) Tingkahmu berlebihan sehingga memuakkan.
Kakek  Kausendiri yang menyuruh agar saya berlaku pura-pura tidak kenal kepada nyonya itu.
Nenek   Ya, tapi kau berlebihan. Kau kurang wajar.
Kakek   Susah. Kalau saya wajar kau marah. Kalau saya berlebihan kau juga marah. Kalau saya jumput di perpustakaan kau juga marah. Saya tidak tahu bagaimana supaya kau tidak marah dan saya tidak mau marah agar kau tidak marah.
Nenek   Pendeknya berlakulah sedikit agak sopan.
Kakek   Saya coba.
Nenek  Kendorkan urat wajahmu.
Sementara itu pesuruh telah menyajikan minuman di atas meja dan baru saja akan melangkah pergi.
Kakek   Udara sangat baik akhir-akhir ini, di rumah nyonya sering turun hujan?
Janda   Ya, terutama belakangan ini.
Nenek   Memang musim hujan.
Janda   Dan terutama kalau sore.
Kakek   Seperti di rumah kita, tidak begitu, sayang?
Nenek  Tentu saja. Kalau di rumah nyonya Wenas jatuh hujan di rumah kitapun turun hujan, sebab nyonya dan kita satu kota, bahkan satu wilayah kecamatan.
Kakek   memang satu kota, satu kecamatan. Tidak begitu nyonya eh, siapa? O ya nyonya Wenas? Tidak begitu?
Janda   Ya, kita satu kota.
Kakek   Mari kita minum, satu kota mari.
Nenek   Silahkan, nyonya.
Kakek   (Setelah minum) Alangkah hangat es jeruk ini.
Nenek   Ya, silahkan, nyonya. Nyonya tidak suka?
Janda   (Menjerit) Alangkah sejuknya. Terima kasih.
Kakek   Sejak kapan nyonya suka es susu yang panas?
Janda   Sejak, sejak kemarin. Ya, kemarin.
Kakek   Kami sendiri menyukai wedang jeruk yang sejuk baru saja. Tidak begitu sayang?
Nenek   Ya.
Janda  Terus terang saya sangat kagum pada nyonya. Saya tidak pernah melihat nyonya bertambah tua.
Nenek   Nyonya berlebihan.
Janda   Saya sungguh-sungguh, nyonya.
Nenek   Kalau begitu saypun berterus terang. Nyonya semakin tua semakin cantik.
Kakek   Memang (Nenek melotot). Maksud saya, maksud saya ketuaan itu hanya timbul apabila kita merasa tua. Adapun tua itu sendiri hanya hasil dari suatu penjabaran, hanya sayangnya penjabaran tersebut dilakukan oleh waktu, sehingga menyebabkan kurang enak kita terima konsekwensinya.
Nenek   Saya kira tidak begitu. Tua adalah konsekwensi dari kesadaran kita.
Kakek   Ya, kalau saja kita punya matematika, kita tidak akan pernah tua. Juga kalau saja kita tidak punya jam kita tidak akan pernah tua.
Janda   Tapi kita punya matahari.
Nenek   Itu susahnya.
Kakek   Takdir. Sekarang mari kita minum seakan kita tidak punya matahari.
Janda   Alangkah sejuknyausu pana ini.
Kakek   Alangkah panasnya es jeruk ini. Tidak begitu, sayang?
Nenek   Ya.
Janda   Tapi kalau kita tidak punya matahari kitapun tak akan pernah punya bulan.
Nenek   Juga kita tidak akan punya iang hari dan rematik kau akan lebih parah lagi.
Janda   Kita tidak akan punya siang dan punya malam.
Kakek   Kalau begitu?
Nenek   Lebih baik punya matahari daripada sama sekali tak punya apa-apa.
Kakek   Ya, dan itu berarti tuapun merupakan rahmat.
Janda   Tidak, bukan rahmat tapi “apa boleh buat”
Kakek   Apa boleh buat mari kita minum lagi.
Mereka minum dan omong seperti tadi.
Janda   Tua dan tidak tua tetap saja ama, kaktus, misalnya.
Nenek   Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun.
Kakek   Saya jadi ingat Old Shatterhand dengan Winnetou, bagaimana keduanya merangkak di atas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau musuh, atau bagaimana mereka mendengarkan bentak-bentakan kaki kuda musuh dari jarak ber-mil-mil. Kaktus-kaktus liar banyak bertumbuhan di Amerika.
Janda   Indahnya.
Nenek  Apa tidak indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan selalu diliputi senja?
Kakek   Saya kira lebih indah, juga lebih bermanfaat. Kita bahkan bisa berteduh di bawah cahaya kuning merahnya.
Janda   Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang sederhana.
Nenek   Kaktus memang selalu kesepian.
Janda   Memang ia kurang dihiraukan orang.
Nenek   Lantaran berbahaya.
Kakek   Bagaimana kalau kita beralih kepada bunga bank saja. Ini lebih langsung menyangkut kepentingan ekonomi kita.
Janda  Sayang sekali kita telah sepakat menerima kehadiran matahari, sehingga saya kini telah ditegurnya. Sudah cukup lama.
Janda  ……Saya di jamu di sini. Saya minta diri sekali lagi saya mengucapkan selamat ata perkawinan emas tuan dan nyonya.
Sayang sekali dia sedang sakit: saya harus segera pulang.
Nenek   Terima kasih banyak ata kunjungan nyonya.
Kakek   Terima kasih banyak. Salam pada suami nyonya.
Janda   Terima kasih (Sambil pergi) Bisonku.
SEPULUH
Perang bisu meletus antara Kakek  dan Nenek.
SEBELAS
Kakek   Kenapa kau diam begitu?
Nenek   diam saja.
Kakek   Kenapa kau begitu diam?
Nenek   Kau juga begitu.
Kakek   Kenapa?
Nenek   Kau juga kenapa?
Kakek   Sayang, adalah tidak baik kita bubuhi pesta emas dengan kata-kata seru.
Nenek  Kau sendiri yang membubuhinya. Kau rusak bunga-bunga pesta kita dengan kaktus-kaktu pacar kau.
Kakek   Sejak muda kau begitu yakin seakan saya pernah punya hubungan percintaan dengan perempuan tadi. Saya heran kenapa kau begitu berhasil menciptakan tokoh yang fantatis itu menjadi tokoh yang seolah nyata dalam diri kau sehingga tokoh itu mampu mempermainkan kau sendiri selama hidup kau.
Nenek  Bukan fantastis. Tapi memang dia tokoh fantasi kau bahkan sampai saat kau tua (Menangis) Sengaja kau suruh Joni menyiapkan segera minuman kesukaannya begitu dia datang.
Kakek   Siapa? Saya? Menyuruh Joni? Minuman apa?
Nenek   Kau menyuruh Joni membuat es susu begitu nyonya janda itu datang.
Kakek   Tidak. Saya tidak menyuruh Joni.
Nenek  Kau lakukan itu ketika saya sedang menemui dia tadi ketika kau menyingkir dari dari sini tadi dan kemudian kau sembunyi ke kamar baca.
Kakek   Tidak, sayang, dari sini tadi saya langsung ke kamar baca dan kemudian saya asyik membaca mengenai para psikologi. Ketika kau datang tepat saya sampai pada baris-baris mengenai telepati. Saya ingat betul.
Nenek   Kau bohong.
Kakek  Kalau tidak percaya kau boleh memanggil Joni (Berseru) J o n i !
DUA BELAS
Pesuruh  Ya, tuan besar.
Kakek   Siapa yang menyuruh…..
Nenek   Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh  Ya, nyonya besar.
Kakek   Siapa yang menyuru…..
Nenek   Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh  Ya, nyonya besar.
Nenek   Sejak tadi pagi sudah berapa kali kau berbohong?
Pesuruh  Belum sekalipun nyonya.
Nenek   Akui saja toh tidak akan mengurangi penghasilanmu.
Pesuruh  Terus terang sudah dua kali, nyonya.
Nenek   Nah, begitu lebih jantan. Apa saja?
Pesuruh  Pertama kepada istri saya.
Nenek   Itu tidak perlu, yang kedua?
Pesuruh  Yang kedua kepada istri saya.
Nenek   Jadi kau selalu berdusta kepada istrimu sendiri?
Pesuruh  Tidak selalu, nyonya. Kadang kala, tetapi tidak pernah lebih tiga kali sehari.
Nenek   Kenapa kau lakukan itu?
Pesuruh  Karena saya percaya istri sayapun melakukan hal yang sama.
Nenek   Mengenai hal apa saja kau berbohong?
Pesuruh  hampir segala hal dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Nenek   Yang paling ringan misalnya?
Pesuruh  Pura-pura sakit.
Nenek   Yang paling berat?
Pesuruh  Soal sembahyang.
Nenek   Tentang perempuan?
Pesuruh  Itu taraf tengah-tengah, nyonya.
Nenek   Bagaimana?
Pesuruh  Saya kira pertanyaan ini sudah bersifat sangat amat pribadi, nyonya dan kurang sopan.
Nenek  Kau memang jago silat. Baik. Sekarang kau akui saja siapa yang menyuruh kau menyiapkan tiga gelas e susu begitu tamu tadi datang?
Pesuruh  Saya sendiri nyonya.
Nenek   Kenapa justru es susu?
Pesuruh  Saya tidak tahu. Saya asal saja. Nyonya, seperti halnya untuk tamu sebelumnya saya buatkan es sirop dan nyonya diam saja.
S u n y i .
Pesuruh  Ada yang perlu saya kerjakan lagi, nyonya besar?
Nenek   Pergi !
Joni exit.
TIGA BELAS
S u n y i . 
Nenek   Berkomplot.
Kakek   Tidak baik mengada-ada.
Nenek   Bahkan kau diam-diam memelihara kaktus dalam kakus.
Kakek   Tidak melulu kaktus tapi beberapa jenis bunga lainnya, juga……
Nenek   tiba-tiba menangis sangat kerasnya.
Kakek   Diamlah, sayang. Kalau kau diam saya akan menyanyi lagi. Diamlah. Saya akan menyanyi dua buah lagu sekaligus. Sayang diamlah. Lagi jangan terlalu keras kau menangis nanti kau batuk kalau batuk tenggorokan bisa luka dan suara bisa serak.
Selain itu apa kata anak-anak nanti kalau mereka datang. Sayang. Atau kau mau saya membaca kitab suci? Dongeng? Saya akan membaca bagaimana nabi Nuh melayani singa betina yang bunting, sementara seekor kera sakit enfluensa.
Nenek   Biarpun kau dukung saya dari sini ke kamar saya tidak akan diam.
Kakek   Baiklah, saya tidak akan berbuat apa-apa tapi kau mau diam.
Nenek   Kalau kau tidak berbuat apa-apa saya akan menangis lebih keras lagi.
Kakek   Tuhanku,kepala saya Cuma satu dan puyeng. Kalau saja saya punya tiga kepala barangkali saya tahu apa yang harus saya perbuat agar kau diam. Tapi kepala saya Cuma stud an tangis kau memenuhi kepala saya dengan sejuta lalat hijau. Tuhan-ku.
Nenek   Saya akan terus menangis. Biar geledek menyambar saya tetap menangis.
Kakek   Katakan bidadariku apa yang……..
Nenek   Saya bukan bidadari.
Kakek   Katakan malaikat ku.
Nenek   Saya bukan malaikat!
Kakek   Katakan dewiku………..
Nenek   Saya bukan dewi.
Kakek   Terserah siapa kau tapi katakana………..
Nenek   Saya istrimu!
Kakek   Ya, katakan istriku apa yang……..
Nenek   Saya bukan istrimu!
Kakek   Tuhan-ku.
Nenek  Kau kejam. Kau bagaikan patung perunggu dengan hati terbuat dari timah. Kau tidak punya perasaan. Kau nodai percintaan kita dengan perempuan berhati kaktus. Hatimu ular cobra. Kejam! Kejam! Tuhan, masukkan dia ke dalam neraka sampai kukunya hangus.
Kakek   (Menangis) Doamu jahat.
Nenek   Biar
Kakek   Kau ingin saya masuk neraka?
Nenek   Bukan. Kerak neraka. Neraka paling neraka.
Kakek   Kau kejam dank au sendiri?
Nenek   Ke sorga.
Kakek  Kau egoistis.
Nenek   Biar.
Kakek   Kenapa kita tidak sama-sama satu tempat?
Nenek   Tidak sudi.
Kakek   Kau rupanya ingin kita pisah.
Nenek   Ya, saya ingin kita pisah tapi kau tidak mengerti.
Nenek   …..Saya ingin kita cerai.
Kakek   Cerai?
Nenek   Ya, cerai. Hari ini juga kita ke pengadilan. Kita cerai.
Kakek   Sayang, kau harus panjang berfikir untuk sampai ke sana.
Nenek   Kalau saya panjang fakir saya takut kita nanti tidak jadi cerai.
Kakek   Tapi kau harus berfikir…..
Nenek  Dalam soal perceraian tidak perlu fikiran tapi perasaan seperti halnya soal percintaan. Pokoknya kita harus cerai. 
Hari ini juga kita harus selesaikan surat-suratnya.
Kakek   Sekarang sudah terlalu siang dan saya kira kantor-kantor………
Nenek  Kalau kantor-kantor tutup besokpun jadi, tapi mulai malam ini saya tidak sudi tidur satu kamar bersama kau.
Kau boleh tidur di kamar baca di ata kitab-kitabmu bersama rayap-rayapnya.
Suara Nita  B u s t a m i
Suara Joni  Ya, nyonya!
Kakek   Kau dengar? Nita sudah datang.
Joni lewat.
Kakek   Sayang diamlah.
Nenek   Saya tidak mau diam.
Kakek   Nita datang.
Nenek   Tidak perduli.
Joni lewat membawa banyak bungkusan belanja, begitu muncul Nita begitu Nenek lari ke dalam.
EMPAT BELAS
Kakek   (Mengejar) Sayang.
Nita   Ada apa lagi, pak?
Kakek   Kaktus dalam kakus (Exit)
Nita   Bustam.
Joni   Ya, Nyonya.
Nita   Ibu dan bapak bertengkar?
Joni   Tidak tahu, nyonya, tapi saya dengar mereka tangis tangisan.
LIMA BELAS
Ketika Nita dan kemudian Joni exit, muncul Sopir Arba membawa beberapa koper dan tas meletakkan di sana, tidak lama kemudian muncul Novia dengan anak-anaknya, Meli dan Feri.
Arba   Di sini, nyonya?
Novia   Ya, letakkan saja di sini dulu.
Arba   Yang lainnya, nya?
Novia   Biarkan saja di mobil, kau tunggulah disana.
Meli   Papa nanti ke sini, Mam?
Novia  Ya, sayang (berseru) Pak Arba!
Arba  Ya, nyonya?
Novia   Tidak, nanti saja.
Arba   Baik, nyonya (exit)
Feri   Mana bude Ita, Mam?
Novia   Sebentar, sayang.
Feri   Feri ingin lihat ikan, Mam?
Novia   Sebentar, sayang, sebentar.
Meli   Meli juga, Mam.
Novia  Ya, sayang Meli dan Feri boleh lihat ikan dengan janji tidak main-main air. Nanti ikannya sakit. Kalau ikannya sakit nanti Kakek  dan Nenek menangis.
Feri   Nenek juga suka menangis, Mam?
ENAM BELAS
Muncul Nita dan terkejut.
Nita   (Setelah memainkan Meli dan Feri) Ada apa lagi Novia?
Novia   Nanti saya ceritakan semuanya. Mana Memet?
Nita   Bustam!
Joni   Ya, nyonya.
Novia   Memet!
Nita   Ya, nyonya.
Novia  Bawa masuk Meli dan Feri (pada anak-anaknya) Siapa yang mau lihat ikan?
Meli dan Feri mengacungkan tangannya: Saya Mam.
Novia   Ikutlah sama Mang Memet.
Joni   Ayo lita nonton ikan.
Joni dan Meli dan Feri masuk ke dalam.
TUJUH BELAS
Nita   Lagu lama?
Novia   Tapi kali ini saya kira yang terakhir.
Nita   Dulu kau juga bilang begitu.
Novia  Tapi, Nita, kau sendiri bisa menimbang bagaimana sakitnya perasaan saya melihat tingkah Vita terhadap pasiennya yang pura-pura sakit itu.
Nita   Siapa lagi?
Novia   Icih, anak sunda itu, pacarnya waktu sekolah.
Nita   Tapi kalau memang dia sakit apa salahnya berobat kepada suamimu?
Novia   Saya yakin dia hanya pura-pura sakit.
DELAPAN BELAS
Kakek  Begitu Nita. Kau harus dengar dari permulaan sekali soal ibumu……
Novia   Pak…..
Kakek  Ada apa kau? Baru kemarin kau pulang dari sini? Dengan siapa?
Novia  Anak-anak.
Kakek   Mana mereka?
Novia   Di belakang. Lihat ikan seperti biasanya.
Kakek   (Setelah berfikir) Kebetulan kau datang. Begini. Tidak salah kalau kau juga sebagai anak tahu. Ini persoalan juga sangat runcing dan bisa mengakibatkan kesedihan berlarut-larut.
Novia   Soal apa pak?
Nita   Ibu Purik. Ibu marah.
Novia   Kenapa?
Kakek   Itulah dengarkan saya (berfikir). Begini. Soalnya sepele dan tidak bermutu. Ibumu tidak suka tanaman kaktus. Saya suka tanaman itu. Bahkan saya punya tanaman kaktus dalam kakus. Ibumu marah-marah. 
Novia   Bapak tidak mau mengalah?
Kakek   Selama hidup saya selalu mengalah dan terus-terusan kalah malah.
Novia   Buang saja kaktus itu.
Nita   Soalnya bukan kaktus. Soalnya itu cemburu pada nyonya Enas.
Kakek   Ya, begitulah kalau tanpa tedeng aling-aling. Ibumu cemburu dan minta cerai.
Novia   Minta cerai?
Kakek   Minta cerai. Bahkan ibumu minta supaya hari ini juga diselesaikan surat-suratnya.
Novia  Ibu?
Nita   Ya, seperti kau sekarang.
Kakek   Apa? Seperti kau, Novia? Ada apa? Kau juga sedang minta cerai? Dari siapa?
Nita   Dari siapa. Dari suaminya tentu, Vita.
Kakek   Kau dan ibumu memang satu jiwa. Alasan apa yang mendorong kau meminta kesedihan serupa itu? Kebodohan macam apa yang mengotori otakmu? Cerai! Seakan dengan mendapatkan kata itu kau dapat mengecap hidup inilebih nikmat? Novia, kau jangan seperti gadis ingusan. Kamu kira rumah tangga itu rumah-rumahan dari kotak geretan yang dengan mudah dapat kau bongkar-bongkar dank au susun-susun? Novia, kau sudah waktunya menginsafi bahwa rumah tangga adalah rumah suci yang lain, seperti masjid, gereja dan kelenteng. Dan rumah suci adalah tempat dimana firman-firman Tuhan yang agung dan suci dimulyakan, rumah suci adalah tempat dimana cinta kasih ditumbuh-kembangkan menjadi gairah hidup, untuk meraih maka hidup yang samara dalam semesta ini.
Tuhanku…
Novia, alasan picisan apa yang menjadikan kau begitu gairah mendapatkan surat talak? Jangan main-main. Ini bukan lagi semata persolan kau, juga bukan persoalan suamimu semata, tetapi persoalan anak-anakmu yang masih kecil (Menangis) 
Meli, Feri…. Ini sudah menjadi persolan Negara, persoalan dunia, saya tidak boelh membiarkan rumahmu terbakar hanya disebabkan api mainan yang diminyaki cemburu buta. Saya harus beritahu segera ibumu. (Exit)
SEMBILAN BELAS
Nita  Novia, apakah kau tidak pernah memperhatikan baik-baik betapa jernih mata anak-anakmu yang lucu itu. Meli dan Feri.
Novia  Tapi kau juga bisa menimbang betapa sakitnya hati saya. Coba saja, icih. Si sundal itu hampir setiap hari ia berobat ke rumah.
Nita   Tiap hari?
Novia   Tidak. Maksud saya hampir seminggu sekali.
Nita   Seminggu sekali?
Novia  Katakanlah sebulan sekali tapi sekalipun begitu tingkahnya yang kekanak-kanakan cukup membakar seluruh amarah saya.
Nita   Bagaimana kau tahu? Apa kau ikut memeriksa penyakitnya?
Novia  Saya terpaksa jadi polisi kalau tahu perempuan itu mau berobat. Sengaja saya masuk dalam kamar praktek. Pura-pura mencari sesuatu.
Nita   Kau juga dengan apa yang dipercakapkan Icih dengan suamimu?
Novia   Dengar.
Nita   Apa?
Novia   Seperti dokter dan pasien.
Nita   Lalu apa yang kau cemburukan?
Novia   (Setelah diam) Kalau periksa dalam.
Nita  Kenapa kau tidak ikut ke dalam dan menyaksikan Vita memeriksa tubuh perempuan itu.
Novia   Gila.
Nita   Lalu kau di luar saja.
Novia   Tentu saja.
Nita   Itulah kesalahanmu.
Novia   Lalu apa saya perlu juga membuka kancing roknya? Gila!
Nita   Daripada kau di luar dan membayang-bayangkan yang tidak-tidak?
Novia   Saya tidak membayang-bayangkan tapi memastikan.
Nita   Tapi nanti dulu. Coba jelaskan. Jujur. Icih sudah bersuami?
Novia  Ini bukan masalah bersuami atau belum tapi masalah watak. Sekalipun perempuan jalang itu sudah mati saya yakin rohnya masih banal.
Nita  Betul-betul kau diliputi kemarahan saja. Cobalah berfikir dengan tenang. Sebegitu banyak sudah kata yang kau ucapkan tapi tidak sepatahpun kata yang dapat menjelaskan kenapa kau minta cerai dari suamimu. Kalau kau mau jujr sebenarnya kau hanya digerakkan oleh prasngka-praangkamu sendiri saja. Coba. Kalau kau bisa cemburu oleh Icih kenapa oleh puluhan perempuan-perempuan lain atau bahkan gadis-gadis yang juga berobat kepada suamimu?
Novia  Apa kau kira semua perempuan banal seperti sundal itu? Kalau ternyata memang demikian sayapun pasti cemburu sebesar-besarnya terhadap semua perempuan. Tapi saya kira kaupun yakin tidak semua perempuan punya leher selenggang-lenggok leher Icih yang suka membelit leher suami orang lain.
DUA PULUH
Muncul Nenek dan Kakek .
Nenek  (Menubruk Novia sambil menangis) Novia, sayang, kau jangan suka membaca roman-roman picisan. Kau bisa bayangkan sendiri apa jadinya isi kepalamu dengan roman-roman seperti itu. Dengan membaca cerita-cerita cengeng seperti itu kau sama dengan mengisi usus besarmu dengan minuman keras. Sekali-kali tentu kau boleh, tapi kalau setiap hari kau minum arak sama dengan memperpendek usiamu sendiri.
Nenek   ………….Novia, ibu yakin kau telah terpengaruh roman-roman sampah itu sehingga hidup bagimu tak ubahnya seperti mainan peranan belaka. Bacalah Romeo Juliet. Bacalah tentang kesetiaan cinta, dan singkirkan bacaan yang mengajarkan kebencian dan perceraian. Kau kira perceraian itu jalan cuci?
Kakek   Kau kira kau akan menjadi betina yang jantan kalau kau berhasil bercerai dengan suamimu?
Nenek  Jangan kau sangka perasaanmu dan kecemburuanmu akan menuntun hidupmu kea rah kebahagiaan.
Nita   Juga jangan lupakan Meli dan Feri.
Kakek   Hanya karena soal cemburu, soal-soal roman picisan rumah tangga kau bongkar? Kenapa tidak kandang ayam saja yang kau bongkar yang sudah jelas sudah tapuh itu?
Nenek  Novia, sayang, tidak satupun kebaikan yang terselip dalam niatmu untuk bercerai dari suamimu. Lagi tidakkah kau dapat membayangkan kembali kebaikan-kebaikan suamimu seperti katamu dulu, ketika kau mendesak ibu agar menerima lamaran? (Novia akan bicara) tidak perlu kau bicara apa-apa.
Kakek   Ya, tidak perlu sebab, kata-kata seru saja yang kau punya sekarang.
Nenek  Kau dalam keadaan marah. Dalam keadaan marah lebih baik orang diam, dan lebih baiklagi kalau kau mau mendengarkan sayan orang lain.
Kakek   Ya, saya kira begitu. Ibumu sebenarnya juga sedang marah tetapi tak sepatahpun kata kata yang diucapkan.
Nenek   Ban ini, kopor-kopor iniapa perlu artinya? Main-main kau sudah keterlaluan.
Novia   Saya tidak main-main, bu, saya sungguh-sungguh.
Nenek  Lebih jelek lagi (menangis lagi) Tuhanku, apa jadinya nanti kalau kau jadi berpisah dengan Vita yang dulu kau agung-agungkan? Apa jadinya hidupmu?
Nita  Apa jadinya anak-anakmu? Meli dan Feri akan kehausan cinta sebab mereka tidak akan lengkap menerima keutuhan cinta.
Nenek  Fikirkan baik-baik, sayangku. Singkirkan kegelapan yang dibenihkan setan cemburu.
Kakek   Apa kira surat talak itu cek?
Nenek  Tuhanku, limpahilah anak saya dengan cahaya kasih Mu. Novia, tidakkah kau bisa menimba pelajaran dari pengalaman-pengalaman ibu dan ayahmu?
Kakek   Ayah dan ibumu berumah tangga selama setengah abad, tanpa sedikitpun membiarkan setan talak bertelur dalam kamar tidurnya, bahkan tidak dalam dapurnya.
Nenek   Kami bagaikan Adam dan Hawa.
Kakek   Apa kau pernah mendengar Hawa minta talak kepada Adam? Berkacalah kepada ibu dan Ayahmu. Kamilah pasangan abadi dunia dan akhirat.
Nenek   Kami bagaikan Sam Pek dan Eng Tay.
Kakek   Pronocitro dan Roro Mendut.
Nenek   Di sahara kami adalah Leila dan Qais.
Kakek   Kau sendiri tahu betapa setianya Layonsari sampai-sampai ia bunuh diri demi cintanya kepada Jayaprana.
Nenek   Bacalah semua itu, sayang. SEmua itu pusaka Nenek moyang kita yang manjur.
Kakek   Demi menegakkan tiang-tiang rumah tangga kita, berfikir dengan tenang.
Nita  Dan demi kebahagiaan anak kita. Adikku, kau begitu bahagia dengan Meli dan Feri dan papanya Vita kenapa kau sebodoh itu mau memuaskan kebahagiaan itu? Tidakkah kau tahu bahwa diam-diam saya sebagai kakakmu selalu merasa iri karena saya dan suami saya tidak pernah diberkahi anak?
Nenek   Belum. Nita.
Kakek   Kau tidak boleh berkata begitu.
Novia   Tapi bu.
Nenek   Tidak, jangan bicara.
Kakek   Sekarang kau tidak akan bicara kecualimarah-marah.
Nenek   Marah-marah hanya menghasilkan kerut muka.
Kakek   Ibumu juga tidak suka marah.
Nenek  Sekali-kali tentu saja boleh sekedar olah raga urat muka, tapi kalau terlalu sering bisa membuatpenyakit.
Nita  Dan anak-anakmu, Novia, anak-anakmu? Akan kau biarkan mereka kehausan cinta hanya demi kepuaan amarahmu? Egoistis?
Novia  Saya tidak akan bicara apa-apa, saya hanya akan menjelakan panjang lebar. Duduk perkaranya.
Nenek   Bicaralah.
Kakek   Apa persoalannya.
Nita   Sudahlah, kita semua sudah mengerti.
Nenek   Biarlah dia jelaskan semua, Nita.
Kakek   Bagaimana kita bisa mengerti tanpa lebih dulu mendengar penjelasannya?
Novia   Vita mau kawin lagi.
Nita   Apa kau bilang?
Kakek   Dia bilang apa?
Nenek  Apa kau yakin itu kalimatmu? Saya yakin kalimat itu kau pungut dari salah satu buku picisanmu (berseru) Joni! (tak ada sahutan)
Nita   Bustam !
Novia   Memet !
Kakek   Joni!
Joni   Ya, tuan besar.
Nita   Air dingin, Bustam!
Novia   Cepat, Met!
Joni   Sebentar, nyonya.
Nita   Permainanmu terlalu kasar, Novia, kalau kau teruskan ibu bisa pingsan.
Novia   Maksud saya, maksud saya, Vita serong.
Nenek   Dari halaman berapa kau pungut kalimat itu? (berseru) Joni!
Novia   Met !
Kakek   Joni !
Nita   Bus !
Joni tergesa membawa empat gelas air dingin, mereka berempat sama-sama minum
Nita   Ganti kalimatmu, Novia.
Kakek   Ya, kalau kau tidak ingin perut kamu kembung oleh air dingin.
Nenek   Cari halaman lain yang lebih lembut kata-katanya.
Novia   Ibu, saya cemburu.
Nenek   Nah, itu baik. Cemburu itu suci. Hanya dengan modal itu kaumampu bercinta.
Novia   Tapi vita keterlaluan.
Kakek   Barangkali cemburu kau yang keterlaluan.
Nita   Novia, cemburu pada salah seorang pasien Vita.
Nenek  Novia, rupanya kau beluim menyadari bahwa usapan tangan seorang dokter lembut dan suci seperti lembut usapan orang-orang suci atau bahkan nabi. Dokter-dokter bekerja atas tugas suci. Merekalah yang paling nyata mengamalkan firman-firman Tuhan. Kalau kau mau mengerti para dokterlah yang paling banyak tahu tentang penderitaan manusia sepanjang sejarahnya. Merekalah yang berjuang dengan nyata agar kita bisa mengecap hidup ini bertambah baik.
Kakek   Merekalah menghibur kita, menyembuhkan kita dari segala macam luka yang ditatahkan sang kala.
Nenek  Saya jadi terharu.
Kakek  Kasihan Vita.
Nenek   Anak sebaik itu dicurigai.
Kakek   Seperti nabi-nabi yang diludahi oleh umatnya sendiri.
Nenek   Kau kejam, Novia Abujahal kau.
Kakek   Judas kau.
Dengan pucat dan tergesa Joni muncul.
Nita   Ada apa, Bus?
Nenek   Ada apa, Joni?
Novia   Ada apa, Met?
Joni   Meli, nya.
Keempatnya  Meli?
Joni   Feri.
Keempatnya  Feri?
Joni   Meli dan Feri ?
Keempatnya  Meli dan Feri?
Joni   Ya, nya.
Keempatnya  Kenapa?
Joni   Hilang.
Keempatnya  Apa?
Joni   Hilang.
Keempatnya  Diculik ?
Joni   Hilang.
Novia   Kau gila.
Nita   Kau taruh dimana mereka?
Kakek   Beberapa kali saya bilang, hati-hati.
Nenek   Dunia penuh culik.
Nita   Kenapa kau bengong begitu?
Keempatnya  Cari.
Nita   Tidak telpon dulu.
Kakek   Polisi.
Kemudian mereka berimprovisasi, mereka betul-betul cemas, takut dan lain-lain.
Nita   Meli ! Feri ! Di mana.
Kakek   Cucuku.
Nenek   Cucuku.
Novia   Met !
Joni   Ya, nya.
Novia   Panggil Arba.
Arba   Saya di sini, nya.
Novia   Kenapa kau diam saja?
Arba   Saya di sini, nya.
Novia   Meli dan Feri hilang.
Arba   Mereka diculik, nya.
Novia  Diculik?
Arba  Papanya sendiri yang menculik, kira-kira seperempat jam yang lalu tuan dokter tadi menemui saya dan diam-diam mengajak Meli dan Feri pulang.
Novia   Gila kamu.
Kakek  dan Nenek dan Nita muncul.
Nenek   Di mana mereka?
Kakek   Sudah ada telpon dari Polisi?
Nita  Tukang rokok seberang jalan Cuma bilang bahwa seorang laki-laki telah membawa lari Meli dan Feri dalam sebuah mobil.
Nenek dan Kakek  : Apa?
Nenek   (minum) Telpon polisi lagi.
Telpon berdering.
Kakek   Pasti dari Polisi.
Nenek  Cucuku yang malang…. Oh saya sedang membayangkan mereka menangis karena penculik itu mengeluarkan pisau cukur.
Nita   (menyerahkan pesawat telpon) untuk mamanya Meli.
Kakek   Dari Polisi?
Nita   Dari Meli.
Kakek   Berapapun bayar saja permintaannya.
Nenek   Saya yakin pisau cukur itu menyentuh lehernya yang halus.
Nita   Meli dan Feri sudah di rumahnya ekarang. Mereka diculik oleh papanya sendiri.
Nenek   Dongeng apa ini?
Kakek   Keterlaluan! Keterlaluan! Saya tidak bisa memaafkan permainan kasar seperti ini ini.
Nenek  Kenapa berang begitu? Seharusnya kita bersyukur bahwa ini semua Cuma main-main.
Kakek   Justru lantaran main-main saya jadi berang.
Nenek  Lalu apa kau berharap semua ini sungguh-sungguh? Apa memang kau berharap agar Meli dan Feri diculik?
Kakek   Bukan begitu maksud saya, tapi permainan ini bukan untuk orang-orang tua macam kita. Ini permainan pemuda dan bukan untuk orang-orang yang rapuh jantungnya.
Setelah Novia telpon, Nita mendekati dan keduanya bercakap tampak Nita membujuk Novia.
Kakek   Betapapun akan saya marahi Vita. Akan saya katakana bahwa sebagai dokter dia kurang mempertimbangkan kemungkinan effek psikologis dari permainannya. Apa dia tahu bahwa setiap kali saya harus mengatur peredaran darah saya sedemikian rupa di depan aquarium sambil mendengarkan lagu-lagu yang paling lembut agar kesehatan saya terpelihara? Dengan permainan baru saja, sama dengan dia meledakkan granat di atas batok kepala saya. Apa dia fakir dia mampu mengobati kalau saya sakit keras? Barang kali dia lupa bahwa dia dokter muda. Dokter muda jelas baru tahu tentang ilmu kedokteran seninya. Untuk ia, ia perlu bergaul dengan alam. Banyak tingkah. Coba……
Novia   Pak, Ibu, saya permisi pulang.
Kakek   Tanpa minta maaf?
Pulanglah dan bilanglah pada suamimu besok dia harus menghadap kemari.
Novia  Pulang dulu, bu.
Nenek  Jangan lupa semua nasehat ibu.
Novia  Ya, bu.
Joni   Polisi, Nyonya.
Nita  Sebentar, saya ke muka. 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar