Halaman

Rabu, 20 Mei 2009

KEMENANGAN SLAMET IBNU ANSORI


Pemilu legislative 2009 yang telah berlangsung sungguh memberikan gambaran yang sangat luar biasa bagi penikmat politik. Kemenangan Partai Demokrat telah mengubah paradima politik yang ada. Jika Golkar dahulu dapat menguasai peta politk adalah merupakan hal yang sangat wajar. Karena Golkar telah merengkuh semua sendi birokrasi. Lain halnya dengan Partai Demokrat.

Bagi warga NU sendiri, pemilu 2009 adalah merupakan pukulan yang telak bagi kelangsungan politik warga NU itu sendiri. Carut marutnya PKB yang berujung pada dua kepemimpinan antara Muhaimin dan Gus Dur adalah hal sangat tidak cerdas, tradisional dan mencerminkan watak warga NU itu sendiri. Sementara kehadiran PKNU justru membuat daftar panjang kegagalan politik warga NU. Walaupun disana banyak kyai sekalipun, ternyata tidak serta merta membawa PKNU pada peta yang diperhitungkan. Bandingkan dengan Gerindra yang hanya mengandalkan sosok Prabowo. Ironis bukan ? Ini mestinya dapat untuk berkaca bagi warga NU tak terkecuali para kyai yang terlibat didalamnya. Pengaruh mereka ( kyai ) ternyata tidak signifikan dalam muraup perolehan suara di pemilu 2009.

Pada tingkat local di Ajibarang sendiri, PKB pasca pemilu 1999, PKB dijauhi oleh para tokoh ( kyai ) NU di lingkungan NU. Hal ini tak terlepas dari konflik kepentingan dalam dukung mendukung figure ketua tanfidz. Dari KH. Bachir Suchaimi kepada Slamet Ibnu Anshori. Sehingga banyak tokoh dari kaum sesepuh yang bersikap “diam” dalam pemilu 2004. Tetapi bahwa politik adalah politik. Dengan penuh kekurangan yang dimiliki, Slamet IA berusaha mengumpulkan “ balung tugel “ yang telah lama di biarkan. Konsep bahwa pemilu bukan mbaranggawe lima tahunan juga diterapkan dengan tetap menjalin komunikasi dengan konstituen. Kehadiran tokoh muda yang “sangat” berpaling dengan kaum sesepuh, sedikit banyak membantu pada perolehan suara 2004. Walaupun PKB secara umum mengalami penurunan, PKB Ajibarang mampu mengalahkan Pekuncen yang secara cultural lebih mendukung pada warna hijau.

Konsep bahwa pemilu bukan mbaranggawe lima tahunan, diterapkan betul oleh PKB Ajibarang ( Slamet IA ) dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai legislative untuk membantu kepentingan masyarakat. Kepentingan sosial semacam proposal pembangunan, pemilihan kepala desa dan kepentingan sosial lain tidak luput dari jamahan PKB Ajibarang. Strategi ini telah menampar tokoh dan asumsi politik warga NU di Ajibarang. Ketokohan tidak berpengaruh signifikan dalam hal meraup suara konstituen. PKNU yang jelas – jelas mengusung calon legislative dari kalangan kyai misalnya, tidak mendapatkan hati yang cukup dimasyarakat. Entah karena persoalan apa yang terjadi pada masyarakat kita, tetapi yang jelas adalah bahwa politik tidak sekedar tokoh, tetapi kearifan, keteladanan dan pembuktian agaknya menjadi penilaian tersendiri di masyarakat dewasa ini.

Perolehan suara yang fantastis dari Slamet Ia adalah bukti dari kenyataan diatas.Betapapun Slamet dijauhi oleh kalangan "tradisional", tetapi pemberian "berkah" dewan adalah menjadi point tersendiri dari pada sebuah ketokohan semata.

SETAHUN MWC NU AJIBARANG

Tak terasa lama MWC NU Ajibarang telah memasuki tahun kedua masa kepemimpinan Rois Syuriah K. Zuhdi Azhari dan Tanfidziah Amrudin Ma'ruf.

Ada hal menarik dari kepengurusan yang baru kali ini. Pertama adalah adanya kesadaran dan upaya untuk merangkul semua komponen yang ada di lingkungan "kesepuhan " dan tokoh lama NU. Hal ini tercermin dengan masuknya tokoh lama seperti KH. Munawar Cholil, KH. Abdul Hamid Rusydi, Ahmad Sofyan, S.Pd dan beberapa tokoh lama lainnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya asumsi bahwa generasi muda NU sedikit banyak telah meninggalkan saran, petuah dari para tokoh lama. Ini setidaknya yang "dituduhkan" kepada kepengurusan sebelumnya. Sehingga Ketua Tanfidziah setelah terpilih langsung bergerilya untuk meminta "do'a restu " dari tokoh lama.

Hal menarik kedua adalah, dengan kehadiran tokoh lama banyak "perbincangan " yang muncul yang kemudian menjadi program adalah sebuah program nostalgia. Satu contoh adalah pengajian ahad wage. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, forum tersebut tidak lebih sesungguhnya adalah sebuah agenda masa lalu yang dihidupkan kembali. " Pemaksaan " program tersebut, jika jujur kita analisis adalah sebuah kepentingan sekelompok yang terhubung langsung dengan para pelaku di masa yang lalu.

Ketiga adalah adanya upaya yang digagas oleh Ketua Tanfidziah untuk melakukan reorganisasi terhadap pengurus sekolah. Dalam langkah ini, ketua tanfidziah kelihatan sekali ragu - ragu dan ada sedikit nervous jika tidak boleh dikatakan "takut" dengan mengistilahkan reorganisasi pengurus sekolah dengan istilah penyegaran. Dan kenyataan membuktikan bahwa langkah tersebut menuai banyak kendala. Pasca sukses "pengkaderan" pengurus SMK Ma'arif NU I Ajibarang, MWC menuai kendala saat "penyegaran" Pengurus SLTP Ma'arif Ajibarang. Langkah ini serta merta berhenti di tengah jalan. Jika tidak keliru, SMA Ma'arif dan Mts Ma'arif tidak dilakukan penyegaran kepengurusan sekolah